Masih Perlukah Kegiatan KKN?


Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) agaknya mulai melenceng dari tujuan semula. Bahkan mahasiswa lebih sering menjadi pekerja perancang kegiatan. Perlukah kegiatan intrakurikuler tersebut dilikuidasi, atau minimal direvisi formatnya? 

TUJUAN Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) mewajibkan kegiatan KKN di setiap perguruan tinggi sebenarnya mulia. Yaitu agar perguruan tinggi tidak menjadi lembaga yang terpisah dari kepentingan masyarakat. Meminjam istilah Prof Noegroho Notosutanto (alm), supaya perguruan tinggi tidak menjadi ''menara gading'': terlalu jauh dan terasing dari masyarakat sekitar. Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi jembatan yang mengaitkan kemampuan iptek dan program pembangunan di masyarakat. Sehingga peranan ideal perguruan tinggi sebagai pusat pengkajian dan pengembangan iptek menjadi lebih nyata. 

Pengetahuan mahasiswa yang diperolehnya dari ruang kuliah dan perpustakaan bisa dipraktikkan untuk membantu program pemerintah dan masyarakat. KKN menjadi kegiatan intrakurikuler yang memadukan tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan (pengajaran), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan secara lintas sektoral dan interdisiplin oleh mahasiswa dengan bimbingan dosen. Melalui KKN, para mahasiswa diajak mengenal dan memahami secara langsung kehidupannya secara lintas sektoral dan interdisipliner. Dengan menyelami kehidupan masyarakat dan berbagai persoalan di desa, mahasiswa sebagai calon sarjana bisa memperoleh bekal berharga, sehingga kelak betul-betul siap diterjunkan di tengah-tengah masyarakat. 

Namun bagaimana realisasi kegiatan KKN akhir-akhir ini? Hampir semua mahasiswa yang sudah mengikuti KKN mengakui kalau manfaat yang diperolehnya kurang mengena atau tidak optimal. Sekar Indrawati, mahasiswi Jurusan Komunikasi FISIP Undip, bahkan menilai tujuan KKN melenceng jauh dari apa yang diharapkan. ''Seharusnya mahasiswa hanya sebagai perencana kegiatan, dan bisa mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah. Yang terjadi di lapangan, masyarakat seenaknya saja minta ini-itu, tanpa melihat kemampuan yang dimiliki mahasiswa,'' tegas mahasiswa angkatan 2003 itu, yang mengikuti KKN di Desa Bawang, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung. Dia melihat kegiatan yang dilakukannya tidak efektif, sehingga berkesan hanya sekadar memenuhi kewajiban kurikulum, tanpa merasakan manfaat berarti. Padahal sebelum berangkat ke desa, dia mendengar gembar-gembor bahwa KKN dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Tapi sampai kembali ke kampus, tujuan itu tidak dirasakannya sama sekali. ''Yang saya rasakan, kegiatan KKN sangat tidak terkontrol. 

Kadang masyarakat desa tidak mengerti program yang akan kita laksanakan. Itu sebabnya, saya menilai program ini tidak efektif. Belum lagi mahasiswa harus memikul biaya perbaikan sa-rana desa,'' kritiknya. Kerja Bakti Hal senada juga diungkapkan Anggoro Wicaksono, mahasiswa Fakultas Ekonomi Undip. Sebenarnya, KKN penting sebagai bentuk sosialisasi mahasiswa kepada masyarakat. Mahasiswa bisa menjadi teladan bagi masyarakat dan memperoleh manfaat yang positif. ''Fakta yang terjadi di lapangan sangatlah berlawanan. KKN tidak efektif sama sekali. Nggak ada manfaat yang bisa diambil. Waktu saya KKN hanya dihabiskan dengan nongkrong di kantor lurah, pembuatan papanisasi, bersih-bersih desa, dan kegiatan kerja bakti lainnya,'' kata mahasiswa yang diterjunkan di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Lebih celaka lagi, ilmu ekonomi-nya sama sekali tak terpakai. Ya, karena kesan kerja bakti dan liburan bersama teman-teman mahasiswa lebih kentara. Seharusnya, kata dia, mahasiswa diberi keleluasaan untuk membuat desain kegiatan-kegiatan sesuai dengan pemetaan masalah di desa sasaran. Kalau perlu menyusun skala prioritas, sehingga kegiatan yang dilakukan bisa lebih fokus. Setiap persoalan desa bisa dipecahkan para mahasiswa melalui disiplin ilmu masing-masing, tapi pelaksananya tetap penduduk desa itu sendiri. ''Rancangan dan target harus dibuat lebih jelas. Misalnya jika desa memerlukan jembatan, maka yang dikirim sebaiknya mahasiswa teknik sipil, bukan mahasiswa sastra. 

Dengan demikian, mahasiswa bisa membuat desain jembatan, lalu menghimpun swadaya masyarakat, dan mengawasi warga masyarakat ketika membangun jembatan,'' kata Anggoro. Usul senada disampaikan Dian Apriyanto, anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Komunikasi Undip. Perguruan tinggi tak perlu memobilisasi semua disiplin ilmu ke lokasi KKN. Sebab kebijakan itu menjadi sia-sia, kalau mahasiswa yang dikirim tidak menguasai persoalan di lokasi. ''Indikator keberhasilan KKN itu terletak pada proses, bukan sekadar hasil fisik seperti membuat sekadar WC dan jembatan. Seharusnya pihak perguruan tinggi menyeleksi mahasiswa yang akan diterjunkan ke lapangan,'' kata mahasiswa asal Magelang ini. Melalui perenungan seperti ini, sebaiknya perguruan tinggi perlu memikirkan format baru KKN yang bisa memberikan manfaat positif bagi mahasiswa. Kalau perlu, mencari konsep lain yang lebih baik dan konkret sebagai pengganti KKN jika kelak akan dilikuidasi.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

silakan masukan komentar anda

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Copyright © Ds. Kwanyar-Barat, Madura | Powered by Nofianto Puji Imawan

Design by bigbogbag | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | KKN24      Up ↑